Oleh: Herri Mulyono
LELAKI tua itu duduk dibangku panjang dekat rumah kami. Di tangannya sepiring nasi uduk lengkap dengan kuah santan bertabur bawang goreng. Serpihan kerupuk merah putih bertabur diatasnya. Kami memanggilnya pak Haji. Di bangku panjang itulah pak haji acap kali menghabiskan sarapan paginya.
Pak haji lahap menghabiskan sarapan paginya itu. Matahari di minggu pagi begitu hangat, sambil riang dia memijat mijat punggung pak haji yang sudah membungkuk. Tulangnya sudah tidak begitu kuat. Berbeda dengan tongkat tua pak haji yang gagah terbuat dari kayu jati asli. Tongkat tua itulah yang setia menuntun jalan pak haji tergopoh-gopoh tiap hari.
Pak haji menyeruput kuah sayur nasi uduk ditangannya. Tak jarang pak haji menyapuh sisa air yang menetes pada bibirnya. Kerlap kerlip cahaya tangan pak haji. Iya, benar.. kerlap kerlip cahaya itu datahg dari gelang emas yang menempel melingkari tangan pak haji.
Kata orang, pak haji adalah orang pertama yang datang di area rumah kami dahulu, beberapa tahun setelah kemerdekaan. Waktu itu hidup begitu susah, pak haji harus berjuang keras untuk makan demi menyambung hidup diri dan keluarganya. Disebuah rawa yang luas, gelap dan begitu sunyi. Entah bagaimana pak haji meminta tolong disaat-saat susah.
Jaman berputar, begitu pula hidup pak haji. Lahan yang dahulu dibukanya kini menjadi berkah. Pak haji yang susah, kini seorang yang berharta melimpah. Tanahnya berpetak petak, berundak undak. Pak haji tak lagi repot mencari makan. Ia dapat membeli makanan yang inginkan, tak perlu jalan berkilo meter lagi. Cukup menyuruh pembantunya itu saja. Tapi umur pak haji tidak berputar menjadi lebih muda. Tubuhnya menua dan mulai layu membungkuk. Diumur tua itulah pak haji menikmati kekayaannya.
Nasi uduk dipiring pak haji sudah habis. Begitu pula teh manis digelas besar itu. Tampaknya pak haji sudah menyelesaikan sarapan paginya. Matahari pun mulai meninggi, panasnya mulai dirasa.
Pak haji meninggikan tangannya, diliriknya gelang emas itu baik-baik. Beberapa kali dibersihakannya dari debu yang menempel. Mulut pak haji berkomat kamit. Ujarannya memuja muji gelang emas yang melingkari pergelangan tangannya itu. Pak haji bangga, ia kini orang berharta. Pak haji kata, tidak ada lagi kemiskinan dan kini saatnya bahagia dengan harta yang dipunya. Iya benar, itulah logika yang sering kita gunakan, harta adalah bagian hidup yang bisa membuat bahagia.
Suatu ketika pak haji jatuh sakit. Namun, ditempat tidurnya pak haji masih saja memuja muji gelang emasnya itu. Padahal mungkin saat saat itulah masa pak haji berhenti menghirup segarnya udara pagi. Tap entah apa yang dipikir pak haji, ia tidak hirau dengan orang disekelilingnya. Yang dipikirnya hanya gelang emas itu. Seperti juga kebanyakan orang berkata, sudah berakhir masanya hidup miskin dan hidup susah. Kini saatnya kaya dan menikmati harta yang dipunya. “Boleh dong kita menikmati harta yang kita punya,” begitu kata orang di sekelilingku.
Takdir memang tak pernah diduga. Napas pak haji berhenti ketika ia mengusap-usap gelangnya itu. Sayang teramat sayang, ahli warisnya berebut gelang emas tak seberapa lama kedua mata pak haji ditutup. Pak haji sebentar saja hidup dalam kaya harta, namun ia meninggalkan petaka bagi orang sepeninggalnya, berebut harta yang ia wariskan.
BBM ku berbunyi dari telepon pintar bergetar riang. Ternyata dari adikku. Ia bertanya, “Salahkah bila aku bertekad menjadi orang kaya?” Aku tersenyum senyum saja. Begitulah aku sering ditanya, bukan hanya adikku, tapi banyak juga teman yang bertanya. Ku tinggalkan sejenak kerjaku diruang itu. Kurangkai kata-kata dan kembali bertanya, “Kenapa kamu ingin menjadi orang kaya?”
Telepon pintarku terdiam, namun sesaat ia berbunyi. Adikku membalas, “Biar hidup bisa bahagia.” Aku hanya terdiam, dan tak bisa lagi membalas BBM itu. Ingatanku melesat cepat kembali kepada saat-saat di pagi itu, ketika pak haji duduk dibangku panjang sembari menikmati nasi uduk sarapan paginya.
“Bila kaya karena ingin bahagia, maka bersiaplah ditinggal bahagia seiring hilangnya harta.” Aku menutup BBM malam itu.
Ku bisikkan kepada Raafi ketika kami duduk bersama, “Jangan pernah sedikitpun memberikan tempat bagi harta di ruang hati kita. Bila harta telah tertanam dihati, maka mata hanya penuh dengan dunia. Takkan lagi syurga punya makna.”
“Biarlah harta berada ditelapak kaki kita saja. Dan untuk itulah kita mencari harta, untuk ruang-ruang pada setiap langkah kaki yang kita ayunkan,” kututup pembicaraan itu dengan sebuah kecupan. []