RASULULLAH ﷺ dalam haditsnya menyebut penaklukan Konstantinopel sebagai salah satu kabar gembira bagi umat Islam. Hadits yang paling dikenal terkait ini adalah:
“La tuftahanna al-Qustantiniyyah, fala ni‘ma al-amîru amîruhâ, wa la ni‘ma al-jayshu dhâlika al-jaysh.”
“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penakluknya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu.” (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan lainnya, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Namun, dalam hadits tersebut tidak disebutkan secara eksplisit jarak waktu atau tahun antara Perang Khandaq dan penaklukan Konstantinopel.
BACA JUGA: Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel yang Kuasai 6 Bahasa
Tapi kita bisa menghitung jarak waktunya berdasarkan sejarah:
Perang Khandaq (Ahzab) terjadi pada tahun 5 Hijriah (sekitar 627 M).
Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih terjadi pada 29 Mei 1453 M.
Maka jarak waktunya adalah:
Dari 627 M ke 1453 M sama dengan 826 tahun (kalender Masehi)
Jika dikonversi ke kalender Hijriah:
Tahun 1453 M sama dengan 857 H
Maka dari tahun 5 H ke 857 H sama dengan sekitar 852 tahun (kalender Hijriah)
Jadi, kesimpulannya
1- Jarak waktu antara Perang Khandaq dan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Al-Fatih adalah sekitar 852 tahun dalam kalender Hijriah.
2- Keyakinan kaum Muslim pada zaman dahulu akan ditaklukkannya Konstantinopel adalah cerminan dari iman mereka yang kuat terhadap janji Rasulullah ﷺ dan nubuwah (ramalan kenabian) dalam hadits-hadits sahih.
BACA JUGA: Kapan Konstantinopel Ditaklukan?
Selama berabad-abad, umat Islam mengimani bahwa hadits ini bukan sekadar motivasi, melainkan janji kenabian yang pasti terjadi. Bahkan beberapa khalifah dan pemimpin Muslim sejak zaman Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, hingga Abbasiyah mencoba menaklukkan kota tersebut, meski selalu gagal.
Namun keyakinan itu tak pernah pudar. Mereka percaya bahwa meski mereka belum berhasil, suatu hari nanti, umat Islam pasti akan menaklukkan kota yang begitu strategis itu.
Bahkan Sultan Murad II, ayah Sultan Mehmed II (Muhammad al-Fatih), mendidik putranya sejak kecil agar kelak menjadi “pemimpin terbaik” yang disebut Rasulullah ﷺ. []