DI mana bangsa Arab terhadap Palestina sekarang ini?
Abu Hasan An-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah menulis, “Bangsa Arab mencintai persamaan dan merindukan kebebasan. Laki-lakinya penyabar dan pemberani, jarang bersedih di tengah masyarakatnya. Mereka melindungi yang lemah, teguh pendirian dalam hidupnya, serta percaya diri menerima takdir, meskipun dalam kesulitan dan kekerasan.”
Senada, sejarawan Yunani Diodorus Siculus menggambarkan bangsa Arab sebagai bangsa yang “menentang segala bentuk perbudakan dan penghinaan. Bagi mereka, kebebasan adalah lambang kehormatan dan ciri utama yang membedakan mereka dari bangsa lain.” Dengan karakter dasar seperti itu, maka muncul pertanyaan: mengapa sebagian bangsa Arab kini tampak diam terhadap penderitaan Palestina?
Warisan Moral Pra-Islam: Bangsa Penentang Kezaliman
Sejarah mencatat bahwa sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah memiliki nilai-nilai luhur yang kelak diserap Islam. Salah satu contohnya adalah Hilf al-Fudhul—perjanjian lintas suku di Mekkah yang bertujuan menolak kezaliman dan menjamin keadilan, tak peduli siapa korbannya. Rasulullah ﷺ sendiri menyatakan simpatinya terhadap perjanjian ini, meskipun terjadi sebelum kenabiannya.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ diboikot oleh Quraisy, kabilah Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib—yang belum tentu semuanya muslim—tetap membela beliau. Bahkan, sejumlah tokoh kafir Quraisy seperti Hisyam bin Amr dan Zuhair bin Abi Umayyah menentang boikot karena dianggap kezaliman yang bertentangan dengan nurani Arab. Sebagian dari mereka bahkan menyelundupkan makanan ke lokasi boikot sebagai bentuk solidaritas.
Artinya, dalam kondisi Jahiliyah pun, bangsa Arab memiliki sensitivitas moral terhadap kezaliman. Lantas, apakah setelah mereka menjadi muslim, nurani itu lenyap? Apakah mereka akan tinggal diam saat saudara-saudara mereka di Palestina tertindas?
Jejak Dukungan Bangsa Arab untuk Palestina
Saat peristiwa Nakba 1948, ketika penjajah Israel dengan dukungan Amerika dan Inggris melakukan pembantaian massal terhadap rakyat Palestina, demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai penjuru Jazirah Arab. Masyarakat Arab menghimpun dana dan banyak yang secara diam-diam menyelundupkan diri masuk Palestina sebagai relawan tempur. Bahkan, meski harus menghadapi represi dari penguasa boneka penjajah, semangat membantu Palestina tetap menyala.
Hal serupa juga terlihat saat perang di Afghanistan. Dukungan dari bangsa Arab mengalir deras, baik dalam bentuk dana maupun personel. Salah satu contohnya adalah Usamah bin Laden, seorang miliarder asal Arab Saudi yang mengorbankan hartanya demi membantu mujahidin Afghanistan. Dukungan rakyat Arab—meskipun tidak selalu direstui oleh para penguasanya—selalu hadir dalam isu-isu perlawanan terhadap penjajahan.
Sanksi Amerika dan Politik Pengucilan terhadap Donatur Palestina
Kepedulian bangsa Arab terhadap Palestina menjadi sorotan utama dunia, termasuk oleh intelijen Israel. Menurut laporan mantan pejabat Mossad Uzi Shaya, sumbangan kepada lembaga amal yang terkait dengan Hamas meningkat sebesar 70% sejak pecahnya konflik 7 Oktober 2023. Negara-negara seperti Qatar, Turki, Sudan, dan Aljazair menjadi sorotan utama sebagai sumber dukungan dana.
Sebagai respons, Departemen Keuangan Amerika Serikat pada 19 Oktober 2023 menjatuhkan sanksi terhadap individu dan fasilitator keuangan Hamas di berbagai negara. Bahkan, Senator Ted Cruz memperkenalkan Undang-Undang Sanksi Hamas, yang bertujuan menghukum individu, organisasi, dan bahkan negara yang menyediakan dana atau wilayah untuk aktivitas Hamas.
Semua ini menunjukkan bahwa dukungan dunia Arab terhadap rakyat Palestina bukan hanya nyata, tapi juga membahayakan narasi penjajah, sehingga perlu dipersempit melalui sanksi dan tekanan politik.
BACA JUGA: 5 Strategi Menghancurkan Militer Penjajah Israel dalam Perspektif Al-Qur’an
Simpulan: Rakyat Peduli, Penguasa Terikat
Fakta-fakta sejarah dan data terkini membuktikan bahwa bangsa Arab tidak abai terhadap perjuangan rakyat Palestina. Dukungan dana, relawan, serta simpati massal tetap ada dan tumbuh. Namun, pada sisi lain, banyak penguasa Arab justru terikat pada perjanjian normalisasi dengan Israel, tunduk pada tekanan diplomatik Amerika, dan terikat bantuan militer yang membatasi gerak mereka.
Di tengah kemunafikan politik elite, nurani rakyat Arab masih menyala. Mereka tidak melupakan Palestina. Hanya saja, suara mereka sering kali terbungkam oleh tirani kekuasaan. []