AL-KARAMI berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diturunkan lewat perantara malaikat Jibril ‘Alaihissalam. Sebaliknya, hadits qudsi bukanlah mukjizat dan tanpa perantara. Hadits ini terkadang diberi nama juga hadits ilahi dan hadits rabbani karena disandarkan kepada Allah Ta’ala dan periwayatannya juga dari-Nya yang berbeda dengan hadits biasa.
Ath-Thaibi berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada beliau lewat perantara malaikat Jibril ‘Alaihissalam dan lafalnya langsung dari Allah Ta’ala. Hadits qudsi berkaitan erat dengan nilai-nilai kesucian Dzat, sifat, dan keagungan Allah Azza wa jalla yang dikabarkan oleh Allah melalui ilham atau mimpi, sedangkan lafal redaksinya dari beliau sendiri.
Perlu diketahui bahwa semua hadits tidak disandarkan kepada Allah Ta’ala dan tidak diriwayatkan oleh-Nya. Pendapat ini sama dengan yang diungkapkan oleh Hafizh Al-Taftazani yang terdapat dalam Kitab Al-Fawa’ id.
BACA JUGA: Disebutkan dalam Hadis Qudsi, Allah Menjawab Bacaan Al Fatihah dalam 5 Perkataan
Ibnu Hajar (juga Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi) menjelaskan faidah yang dapat dipetik dari perbedaan antara Al-Qur’an dan hadits qudsi atau hadits ilahi. Perlu diketahui bahwa jumlah hadits qudsi tidak banyak, hanya berjumlah kurang lebih seratus buah yang oleh sebagian ulama telah dihimpun dalam sebuah kitab. (Ada yang berpendapat lebih dari dua ratus buah).
Perkataan yang disandarkan pada Allah terdapat beberapa kategori;
pertama, paling tingginya adalah Al-Qur’an yang memiliki keistimewaan dan merupakan mukjizat yang terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mukjizat ini berlaku sepanjang masa dan terpelihara dari perubahan dan penggantian (terutama lafalnya). Dilarang menyentuhnya bagi orang yang sedang berhadats kecil dan dilarang membacanya bagi yang sedang junub. Meriwayatkan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti dengan sinonimnya. Salah satu suratnya (Al-Fatihah) menjadi bacaan wajib dalam pelaksanaan shalat dan surat atau ayat-ayat yang lain disunnahkan dibaca dalam shalat serta setiap huruf Al-Qur’an yang dibaca memberikan pahala bagi yang membacanya sebanyak sepuluh kebaikan.
Menurut Imam Ahmad dilarang menjualnya dan menurut Ibnu Majah hanya makruh. Kalimat yang terdapat dalam Al-Qur’an disebut ayat dan kumpulannya disebut surat.
Adapun hadits qudsi juga disandarkan kepada Allah Ta’ala, tetapi tidak berlaku sebagaimana Al-Qur’an. Orang yang sedang berhadats kecil maupun hadats besar boleh menyentuhnya dan membacanya. Hadits qudsi tidak boleh dibaca dalam shalat, bahkan dapat membatalkannya.
Setiap huruf dari hadits qudsi tidak diberi imbalan pahala sebanyak sepuluh kebaikan. Tidak dilarang menjualnya dan bagian-bagiannya tidak diberi nama ayat atau surat.
Kedua, Nabı Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan untuk menulis Al-Qur’an, sedangkan beliau melarang menulis hadits qudsi.
Ketiga, hadits qudsi yang dikutip oleh siapa pun disandarkan terlebih dahulu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian disandarkan kepada Allah Ta’ala. Adapun Al-Qur’an harus disandarkan langsung kepada Allah Ta’ala, seperti “Allah Ta’ala berfirman…” Adapun hadits qudsi, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari Rabb-nya…”
Muncul suatu pertanyaan, apakah setiap sunnah Rasulullah termasuk wahyu atau bukan? Jawabannya jelas sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an, (QS. An-Najm [53]:3):
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.” Diperkokoh lagi oleh sabda beliau,
أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi kitab dan seperti itu juga.”
Adapun hadits qudsi ditinjau dari rawi terdapat dua bentuk; pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Rabb (Tuhan)-nya. Ini adalah ungkapan kaum salaf. Kedua, Allah Ta’ala berfirman sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua ungkapan ini maknanya sama.
Amir Hamiduddin menjelaskan bahwa yang dapat dipetik dari perbedaan Al-Qur’an dan hadits qudsi ada enam:
Pertama, Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan hadits qudsi bukan mukjizat.
Kedua, shalat ditegakkan dengan lafal-lafal yang terdapat dalam Al-Qur’an, sedangkan hadits qudsi tidak dapat, bahkan dapat membatalkan.
BACA JUGA: Penjelasan tentang Hadits Qudsi dan Pendapat 3 Ulama
Ketiga, orang yang mengingkari atau mendustakan Al-Qur’an dianggap sudah kafir, sedangkan orang yang mengingkari keberadaan hadits qudsi tidak dapat dikatakan sudah kafir.
Keempat, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui perantaraan malaikat Jibril ‘Alaihissalam, berbeda dengan hadits qudsi.
Kelima, lafal Al-Qur’an langsung dari Allah Ta’ala, sedangkan lafal hadits qudsi dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keenam, Al-Qur’an dilarang disentuh orang yang sedang berhadats, sedangkan hadits qudsi boleh-boleh saja disentuh oleh orang yang sedang berhadats. Wallahu a’lam. []
SUMBER: HUMAYRO