Oleh: Rissa Septiani Mulyana, S.Psi
[email protected]
TULISAN ini saya buat sebagai rangkuman dari kajian subuh @muslimunited.official pada 12 Januari 2021, pembaca bisa mengikuti akun Instagram-nya, ya!
Wasiat tentang takwa adalah wasiat yang tak pernah usang dan selalu dibahas berulang. Pengulangan ini bukan tanpa alasan, tidak juga untuk dijadikan layaknya dongeng atau kisah pengantar tidur.
Dalam Al-Quran, Allah menerangkan berbagai nasihat tentang agama menggunakan kata “wasshoo’u”, yang mengindikasikan bahwa nasihat tentang akhirat harus disampaikan berulang kali dan terus menerus.
BACA JUGA: Taqwa Adalah Master Key
Berbeda dengan nasihat tentang dunia yang disampaikan dengan kata “ashhoo’u” yangmengindikasikan bahwa wasiat tentang dunia cukup satu kali. Mengapa demikian? Karena manusia cenderung akan selalu ingat wasiat tentang dunia meskipun hanya diberi tahu sekali seumur hidup.
“Aku wasiatkan kepadamu rumah senilai Rp5M setelah aku wafat nanti.” Bukankah manusia sangat mudah mengingat ini meskipun hanya terucap satu kali dari pemberi wasiat?
Berbeda dengan wasiat tentang akhirat. Ada yang harus menasihati orang lain dalam perkara akhirat sebanyak ribuan kali, namun tak diingat juga oleh mad’u. Maka dari itu, nasihat tentang takwa pun harus selalu disampaikan.
Definisi Takwa
Definisi taqwa menurut jumhur ulama adalah mentaati apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang. Sahabat Rasulullah, Ali ibn Abi Thalib pernah menjabarkan ciri-ciri orang bertakwa, yaitu:
Pertama, al-khaufuu minal jaliil, adalah manusia yang merasa takut kepada Allah Yang Maha Agung.
Kedua, al-‘amalu bi at-tanziil, adalah manusia yang beramal dengan apa yang Allah turunkan/perintahkan.
Ketiga, ar-ridha bil qaliil, adalah manusia yang ridha dengan apa pun pemberian Allah meskipun hanya sedikit.
Keempat, al-isti’dadu li yaumir-rahiil, adalah manusia yang senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian.
Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, “Wahai Ubay, apa itu takwa?”
Ubay lalu balik bertanya, “Wahai Umar, ketika engkau berjalan di jalanan yang penuh duri, apa yang kau lakukan?”
BACA JUGA: Belajar Taqwa dari Ummi Nurdjani Djaja
Umar lalu menjawab, “Tentu berhati-hati.”
Ubay berkata, “Itulah takwa.”
Dari kisah tersebut kita dapat memahami bahwa orang bertakwa akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan setiap perbuatan karena dia mempertimbangkan bagaimana kedudukan perbuatan tersebut di hadapan hukum syara’.
Sepenggal Kisah tentang Al-Muttaqiin
Ada kisah lain, kisah Tsabit bin Marzaban yang menemukan apel di jalan. Pada hakikatnya, apel tersebut halal, karena sudah menjadi hak pejalan kaki. Karena sikap wara’-nya, Tsabit menelusuri sungai dan mencari siapakah pemilik apel tersebut untuk meminta keihklasan pemilik apel.
Berhari-hari berjalan, Tsabit menemukan pemilik apel tersebut. Pemilik apel mengikhlaskan apel tersebut dengan satu syarat, yakni menikahi putrinya.
Tsabit menerima syarat itu, namun beliau menjelaskan bahwa anaknya itu buta, tuli dan bisu. Tsabit menyanggupi konsekuensi tersebut meskipun merasa cukup berat. Saat malam dzafaf, Tsabit ingin memasuki kamar mempelainya, namun dia bingung bagaimana memasukinya mengingat istrinya tersebut buta, tuli dan bisu.
Namun alangkah kagetnya ketika dia mengetuk pintu dan mengucap salam, istrinya menyahut dan membukakan pintu. Tsabit kaget dan termenung beberapa saat, hingga akhirnya mundur dan mengatakan bahwa dia salah kamar.
Tsabit bertanya, “Bukankah kata ayahmu engkau buta, tuli dan bisu?”
“Betul, ayahku mengatakan bahwa aku buta karena mataku tidak kugunakan untuk melihat kemaksiatan. Telingaku tuli karena terjaga dari mendengar satu kalimat pun kecuali ada ridha Allah di dalamnya, mulutku bisu karena tak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang Allah murkai, tubuhku lumpuh karena aku tidak pernah berjalan menuju tempat maksiat. Sesungguhnya Ayahku tidak berdusta.”
Tsabit mengucap syukur atas karunia yang baru saja ia dapatkan. Dari pernikahan ini lahirlah sosok ulama termasyur, yakni Imam Abu Hanifah. Kita dapat mengambil ibrah bahwa ketakwaan selalu mendatangkan kebaikan yang tak terduga.
Siapakah Al-Muttaqiin?
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 2,
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,”
Petunjuk dalam Al-Quran dapat berupa petunjuk umum, yang tertuju bagi siapa saja, bahkan orang kafir pun bisa. Namun ada juga petunjuk khusus, yang hanya ditujukan bagi orang-orang yang bertakwa alias al-muttaqiin.
Siapakah mereka? Ada lima ciri al-muttaqiin yang dijelaskan di ayat berikutnya pada QS Al-Baqarah ayat 3-4.
Pertama, di ayat ke-3: “Mereka yang beriman kepada yang ghaib”. Dalam rukun iman, hampir semua aspek adalah al-ghaib, tak bisa diindera mata, namun al-muttaqiin mengimani semua itu karena Allah yang membenarkan perkara tersebut.
BACA JUGA: Berani Kaya Berani Taqwa
Kedua, masih berada di ayat ke-3, “Mereka yang menegakkan shalat”. Menegakkan shalat adalah melaksanakan shalat dengan benar, tanpa lalai dari segi waktu, gerakan, maupun bacaan.
Ketiga, masih pada ayat ke-3,“…dan menginfaqkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepadanya”. Mereka berinfaq setiap hari, yakni mengeluarkan sebagian rizki yang Allah berikan, berapa pun besarnya. Tidak terbatas pada nominal maupun bentuknya, tetapi mereka membiasakan untuk menyisihkan rezeki.
Keempat, “Mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau…” Semua kitab yang turun kepada para nabi sebelum Rasulullah SAW diringkas dalam Al-Quran. Maka seorang yang bertakwa akan senantiasa dekat dengan Al-Quran, menghadiri majelis tadarus, mempelajari dan mengamalkan AL-Quran.
Kelima, “..mereka yakin akan adanya akhirat”. Al-muttaqiin meyakini datangnya hari akhir, maka mereka senantiasa mempersiapkan diri berbekal untuk menghadapi hari kiamat.
Perbekalan terbaik menuju hari akhir adalah ketakwaan. Semoga kita semua termasuk dalam barisan al-muttaqiin. Wallahu’alam bishawab. []