TAK ada duka yang lebih sunyi dari kehilangan. Ia tak berbunyi, tapi mengguncang. Ia tak terlihat, namun mengiris. Dan di antara manusia yang paling menderita karena kehilangan, adalah dia yang paling dicintai oleh langit dan bumi—Rasulullah Muhammad ﷺ.
Di balik senyuman yang penuh kasih, di balik doa-doanya yang menyelimuti umat sepanjang zaman, tersimpan luka-luka yang dalam. Luka kehilangan anak-anaknya. Satu demi satu, mereka berpulang di usia yang sangat muda. Masih bayi, masih kecil. Belum sempat lama memanggil ayah. Belum sempat belajar berkata “Abi”.
Putra-putri yang Menjadi Bintang Surga
Rasulullah ﷺ memiliki tujuh anak. Enam dari Sayyidah Khadijah radhiyallahu ‘anha, dan satu dari Maria al-Qibthiyyah. Namun takdir Allah menetapkan, hanya satu dari mereka yang meninggal setelah beliau wafat—Sayyidah Fatimah radhiyallahu ‘anha. Sementara yang lain, dipanggil oleh Allah ketika beliau masih hidup.
BACA JUGA: 4 Sisi Romantis Rasulullah ﷺ
Qasim, anak laki-laki pertama Nabi ﷺ, wafat saat masih bayi. Abdullah, yang juga dikenal dengan sebutan at-Thayyib atau at-Tahir, juga meninggal di usia sangat muda. Begitu pula Ibrahim, putra dari Maria al-Qibthiyyah, yang hanya hidup selama 16 bulan.
Bayangkan… dalam pelukannya, Nabi ﷺ menimang bayi-bayi mungil itu. Mendengar tangis mereka, mencium kening mereka, membisikkan doa-doa kasih. Lalu suatu hari, mereka berhenti menangis. Terdiam. Nafas terakhir mereka mengepul di udara, dan dunia seakan berhenti berputar.
Apakah Rasulullah ﷺ tidak bersedih?
Tangis yang Dibenarkan
Ketika Ibrahim, putra terakhir beliau, wafat, Rasulullah ﷺ menatapnya dengan mata yang basah. Air mata jatuh ke pipinya. Para sahabat melihatnya dan bertanya, “Engkau menangis, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ini adalah rahmat. Sesungguhnya mata boleh menangis, dan hati boleh bersedih, tapi kami tidak mengatakan kecuali yang diridhai oleh Allah. Wahai Ibrahim, kami benar-benar bersedih karena kepergianmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tangisan itu bukan kelemahan. Ia adalah bentuk kasih sayang yang tulus. Bukti bahwa bahkan manusia paling mulia pun tidak luput dari duka. Tapi Rasulullah ﷺ tidak meratap. Beliau tidak menyalahkan takdir. Beliau tidak menjerit pada langit. Beliau mengajarkan kita: kesedihan itu manusiawi, tapi berserah kepada Allah adalah kunci ketenangan.
Duka yang Mengajarkan Keteguhan
Apa yang bisa lebih mengguncang seorang ayah selain kehilangan anak-anaknya? Tapi lihatlah, dari luka-luka itu, Rasulullah ﷺ justru menjadi lentera bagi umatnya. Beliau tahu, bahwa setiap jiwa adalah titipan. Dan Allah tidak mengambil sesuatu kecuali untuk memberi ganti yang lebih baik—di dunia atau di akhirat.
Setiap bayi yang beliau kuburkan, beliau iringi dengan doa. Dengan kesabaran. Dengan keimanan. Karena beliau tahu, mereka bukan hilang. Mereka hanya berpindah. Dari pelukan dunia yang sempit, menuju taman-taman surga yang luas. Dan kelak, mereka akan menyambut ayah mereka di pintu Jannah.
BACA JUGA: Nasihat Rasulullah ﷺ kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
Pelajaran untuk Hati yang Terluka
Untuk setiap orang tua yang pernah kehilangan, kisah Nabi ﷺ ini adalah pelipur lara. Bahwa bahkan Rasul yang paling dicintai Allah pun diuji dengan kehilangan anak. Bahwa air mata bukan tanda lemahnya iman. Bahwa surga begitu dekat bagi anak-anak yang pergi terlalu cepat.
Kita mungkin tidak pernah sekuat beliau. Tapi kita bisa meneladani doanya, sabarnya, dan keyakinannya pada janji Allah. Kita bisa berkata seperti beliau, ketika melihat jasad kecil putranya terbujur kaku:
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita kembali.”
Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa duka adalah bagian dari jalan menuju cahaya. Dan bahwa Rasulullah ﷺ memahami luka-luka kita, karena beliau pun pernah merasakannya—dengan sabar, dengan ikhlas, dan dengan cinta yang tak putus kepada Allah. []