SEORANG anak tidak hanya tumbuh dari apa yang diajarkan, tetapi juga dari apa yang dia lihat. Utamanya dari ayah. Dalam sosok ayah, anak membutuhkan lebih dari sekadar kehadiran fisik. Ia membutuhkan teladan. Seorang ayah adalah cermin pertama yang dilihat anak dalam memahami bagaimana menjadi laki-laki yang bertanggung jawab atau bagaimana seharusnya seorang laki-laki memperlakukan orang lain. Dari cara ayah memperlakukan ibunya, dari cara ayah menyikapi masalah, hingga bagaimana ia menjalani ibadah, semuanya direkam diam-diam oleh hati dan pikiran anak.
Anak perlu melihat bahwa ayahnya adalah seorang yang memiliki pendirian dan nilai hidup yang jelas. Bahwa dalam menghadapi kesulitan, ayah tidak lari, tetapi berdiri tegar. Anak harus bisa melihat bahwa ayahnya tidak sempurna, namun jujur dalam kekurangan dan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki diri. Ini mengajarkan pada anak bahwa menjadi dewasa bukan berarti tidak pernah salah, tapi tahu bagaimana bertanggung jawab atas kesalahan.
Lebih jauh lagi, anak harus bisa melihat bahwa ayahnya bukan hanya pencari nafkah, tapi juga pencari berkah. Bahwa kerja keras bukan hanya soal materi, tapi juga nilai-nilai yang diperjuangkan. Ayah yang tetap meluangkan waktu untuk mendidik, mendengar, dan mendampingi, akan mengukir kesan mendalam dalam jiwa anak. Sebab waktu adalah bahasa cinta yang paling nyata bagi anak-anak. Ini namanya legacy.
BACA JUGA:Â Â Anak Rajin Bantu Pekerjaan Rumah, Benarkah Lebih Sukses di Masa Depan?
Dan yang terpenting, anak harus melihat bahwa ayahnya adalah hamba Allah yang taat. Seorang ayah yang menundukkan hatinya kepada Sang Pencipta adalah pelajaran paling dalam yang bisa diwariskan. Sholat ayah, doa-doanya, bacaan Qur’annya, kesungguhannya dalam beribadah—itulah yang akan menjadi cahaya dalam hati anak kelak ketika ia mencari arah hidupnya sendiri. Ayah adalah guru yang pertama, bukan dari buku, tapi dari perbuatan.
Nah, hingga dari itu, ada beberapa hal yang memang harus dilihat anak dari ayahnya secara langsung.
Hal pertama yang harus dilihat oleh seorang anak dari ayahnya adalah ayahnya bekerja.
Melihat ayahnya bekerja adalah pelajaran hidup yang sangat berharga bagi seorang anak. Dari situ, anak belajar bahwa segala sesuatu yang ia nikmati—makanan di meja, rumah yang nyaman, dan pendidikan yang layak—adalah hasil dari usaha dan tanggung jawab yang dijalani sang ayah.
Ini bukan semata-mata tentang pekerjaan itu sendiri, tapi tentang nilai ketekunan, tanggung jawab, dan pengorbanan yang menyertainya. Saat anak menyaksikan ayahnya bangun pagi, bersiap, dan menghadapi tantangan pekerjaan setiap hari, secara tidak langsung ia sedang menyerap nilai-nilai kehidupan yang akan membentuk karakter dan etos kerjanya kelak.
Lebih dari itu, melihat ayahnya bekerja juga memberi anak rasa aman dan bangga. Ia belajar bahwa menjadi dewasa adalah tentang mengambil peran dan tidak lari dari kewajiban. Anak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa keberhasilan tidak datang dengan instan, melainkan melalui proses panjang yang memerlukan usaha dan kesabaran. Ini akan menjadi pondasi mental yang kuat saat ia mulai menapaki jalan hidupnya sendiri.
Hal kedua yang harus dilihat oleh seorang anak dari ayahnya adalah ayahnya shalat berjamaah di masjid.
Seorang anak belajar lebih banyak dari apa yang ia lihat dibandingkan dari apa yang ia dengar. Ketika seorang ayah dengan penuh semangat dan konsistensi melangkahkan kaki ke masjid untuk shalat berjamaah, ia sedang menanamkan pelajaran hidup yang sangat berharga tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam pandangan polos sang anak, kebiasaan itu bukan sekadar rutinitas, melainkan tanda bahwa shalat itu penting, bahwa masjid itu tempat mulia, dan bahwa seorang lelaki bertanggung jawab atas hubungannya dengan Allah.
Anak yang melihat ayahnya menjaga shalat berjamaah akan tumbuh dengan pemahaman bahwa ibadah bukan hanya urusan pribadi, tapi juga bagian dari identitas dan kehormatan seorang muslim. Suatu saat nanti, tanpa disuruh, langkah kecilnya akan mengikuti jejak sang ayah.
Bukan karena paksaan, tapi karena cinta yang tumbuh dari keteladanan. Dan di situlah keberkahan pendidikan itu dimulai—dari teladan nyata, bukan sekadar nasihat.
Hal ketiga yang harus dilihat oleh seorang anak dari ayahnya adalah ayahnya tilawah quran.
Ketika seorang anak melihat ayahnya membaca Al-Qur’an, ada pesan diam yang sangat kuat sedang ditanamkan: bahwa Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tapi sumber hidup yang layak diperjuangkan waktunya. Pemandangan itu menjadi teladan nyata tentang bagaimana seorang lelaki mendekat pada Rabb-nya, bahwa kedekatan ruhiyah bukan kelemahan, tapi kekuatan sejati seorang ayah.
Lebih dari sekadar rutinitas ibadah, momen ayah tilawah Al-Qur’an memberi rasa aman dan sekaligus arah. Anak akan tumbuh dengan ingatan tentang ketenangan rumah yang dibalut lantunan ayat suci. Di tengah dunia yang penuh distraksi, contoh ini menjadi kompas yang akan mereka ingat saat mencari makna dan kebenaran dalam hidup. Mungkin anak tidak langsung mengerti semua ayat yang dibaca, tapi mereka mengerti satu hal: ayah mereka mencintai Al-Qur’an, dan itu cukup untuk menginspirasi mereka melakukan hal yang sama.
Hal keempat yang harus dilihat oleh seorang anak dari ayahnya adalah ayahnya memperlakukan istrinya alias ibu anak tersebut.
Ketika seorang ayah bersikap lembut, penuh hormat, dan penuh kasih kepada istrinya, anak akan menyerap nilai-nilai itu sebagai standar perlakuan terhadap orang lain. Sikap ayah menjadi cermin awal bagi anak tentang bagaimana memperlakukan perempuan, bagaimana menyelesaikan konflik dengan bijak, dan bagaimana membangun hubungan yang sehat dan saling menghargai.
BACA JUGA:Â Â Ayah Biasa, untuk Anak Luar Biasa
Sebaliknya, jika yang anak lihat adalah amarah, bentakan, atau perlakuan dingin terhadap ibunya, itu bisa meninggalkan luka dan membentuk pola yang salah dalam pikirannya. Anak bisa tumbuh dengan persepsi keliru tentang cinta, pernikahan, atau peran ayah dan ibu dalam keluarga. Maka, ayah yang memperlakukan istrinya dengan kebaikan bukan hanya sedang membahagiakan pasangannya, tapi juga sedang mendidik anaknya—diam-diam, dalam diam yang sangat dalam.
Menjadi ayah memang melelahkan. Pagi hingga malam banting tulang mencari nafkah, lalu pulang membawa tanggung jawab sebagai qawwam—pemimpin, pelindung, dan pendidik keluarganya. Terkadang lelah itu tak terlihat, tapi tetap terasa. Di balik diamnya, ada doa. Di balik peluhnya, ada cinta yang tak pernah ia minta balasannya.
Namun sesungguhnya, itulah tugas mulia seorang ayah. Allah titipkan amanah besar di pundaknya, bukan tanpa alasan. Karena di balik letih itu, ada pahala yang terus mengalir. Di balik tanggung jawab itu, ada kemuliaan yang Allah siapkan. Maka, meski lelah, jangan lupa bersyukur. Karena jadi ayah, adalah salah satu jalan menuju surga.