TAHAP pertama, kita, cinta, belajar diam,
Membaca mata, mengurai amarah yang kelam.
Bukan karena tak cinta,
Tapi karena cinta belum matang rasa.
Kita duduk dalam ruang penuh teka-teki,
Aku menjaga nada, kau menjaga mimik diri.
Menghindari kata-kata yang bisa melukai,
Menahan gestur yang bisa menyakiti hati.
Aku belajar tak meletakkan handuk sembarangan,
Kau belajar tak memutar televisi sampai larut malam.
Kita menghitung hal-hal kecil,
Yang bisa berubah jadi bara dalam hati yang sulit dipadam.
BACA JUGA:Puisi Cinta Suami pada Istrinya: Yang Tak Pernah Kusuarakan
Tahap pertama, adalah belajar menghindari,
Apa yang tak kau suka, aku simpan rapi.
Apa yang buatku terusik, kau sisihkan perlahan,
Begitulah kita membangun pijakan.
Cinta, kala itu bukan tentang tawa lepas,
Tapi tentang bagaimana tidak membuat luka yang keras.
Cinta bukan tentang kupu-kupu di perut,
Tapi tentang menjaga agar rumah ini tidak runtuh.
Aku belajar memahami diam panjangmu,
Kau mengerti nada rendah dalam jawabanku.
Kita bukan ahli cinta saat itu,
Tapi kita jadi murid terbaik dalam menghindari rindu yang tersinggung.
Namun waktu terus berjalan,
Dan hari-hari kita mulai berubah perlahan.
Langkah kita tak lagi ragu,
Kita sampai di tahap kedua, tahap cinta yang baru.
Tahap kedua: melakukan apa yang disukai.
Aku tahu caramu suka kopi, dua sendok gula, tanpa ampas di tepi.
Kau tahu aku suka dipeluk pagi-pagi,
Bahkan sebelum membuka mata sepenuhnya dari mimpi.
Aku tak lagi hanya menghindari kata yang tajam,
Tapi mulai menanam kata-kata yang nyaman.
Bukan hanya tak menyakiti,
Tapi juga membuatmu merasa berarti.
Aku mengusap punggungmu saat kau lelah,
Kau menghidangkan teh hangat saat aku pulang dengan resah.
Kita tak lagi sibuk bertahan,
Tapi saling memberi tanpa alasan.
Kita tertawa bukan karena basa-basi,
Tapi karena benar-benar menikmati hari.
Aku menyelipkan pujian dalam tiap kalimat,
Kau menyisipkan perhatian dalam tiap hangat.
Kita tak sempurna,
Tapi kita sudah tak lagi terluka karena perbedaan kecil yang dulu terasa besar.
Kita sudah tahu,
Bahwa mencintai bukan sekadar tidak menyakiti,
Tapi juga aktif membuat bahagia setiap hari.
Kau belikan aku buku yang kutaksir diam-diam,
Aku buatkan makanan favoritmu dengan rasa yang perlahan kutekuni dalam diam.
Kita saling mendekati bukan karena kewajiban,
Tapi karena hati kita saling jadi tujuan.
Aku memuji kerudung barumu,
Kau memuji langkah kerjaku yang tak lagi jemu.
Tahap ini, kita bukan hanya pasangan,
Tapi sahabat, saudara, dan cinta yang menguatkan.
Cinta kita tumbuh dari pondasi saling menghindari luka,
Kini menjelma taman yang saling menanam bahagia.
Dulu cinta itu ragu dan penjagaan,
Kini cinta itu adalah tindakan dan pengorbanan.
Aku tidak hanya tidak membentakmu,
Tapi juga membangunkanmu dengan doa yang lembut dan restu.
Kau tidak hanya tidak menyindirku,
Tapi juga membelaku di hadapan dunia yang kadang keliru.
BACA JUGA:Â Puisi karya Ismail Marzuki: Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu
Dua tahap cinta kita,
Adalah dua wajah dari kasih yang nyata.
Menghindari luka adalah bentuk awal kesetiaan,
Melakukan kebaikan adalah bentuk kedewasaan.
Dan mungkin kelak,
Tahap ketiga akan datang:
Mencintai bahkan dalam kelemahan,
Menemani hingga raga tak lagi kuat berjalan.
Tapi saat ini,
Biarkan aku terus menggenggam tanganmu,
Dalam damai rumah yang kita bangun bersama,
Dengan cinta yang tak hanya tidak menyakiti,
Tapi juga aktif menumbuhkan bahagia —
Hari demi hari,
Doa demi doa,
Cinta demi cinta. []